Sabtu, 14 Januari 2017

Laporan Praktikum Integrasi Peternakan di PTPN VI Jambi



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ketahanan pangan dan energi merupakan pilar utama stabilitas nasional dan ketergantungan terhadap pangan impor tidak hanya menyebabkan pemborosan devisa tetapi juga dapat menyebabkan in-stabilitas sosial politik. Tujuan penyediaan pangan menurut UU No. 68 Tahun 2002 harus sesuai dengan porsi pengeluaran yaitu penyediaan pangan untuk memenuhi konsumsi seluruh rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu serta tersedianya cadangan pangan untuk antisipasi kekurangan dan kelebihan pangan, gejolak harga dan atau keadaan darurat. Komoditas daging sapi menjadi salah satu dari 5 komoditas strategis dalam program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang menegaskan kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting pertanian secara proposional dan kontekstual. Pengembangan usaha integrasi sawit dan ternak sapi didasarkan pada pemikiran pemanfaatan sumberdaya pada suatu komoditas bagi pengembangan komoditas lain guna mendorong terciptanya interaksi saling menguntungkan (simbiosis mutualism). Industri persawitan baik perkebunan maupun industri pengolahan (CPO) menyediakan sumber pakan yang sangat potensial dalam pengembangan usaha peternakan sapi potong, dan sebaliknya limbah peternakan berupa feses bercampur sisa pakan akan menjadi sumber pupuk organik untuk perkebunan kelapa sawit. Lokasi pengembangan usaha integrasi sawit sapi PTPN VI di Desa Muhajirin memiliki aksesibilitas sangat baik dengan jalan masuk sekitar 2 km dari jalan raya Ness (jalan pengerasan) dengan jarak dari pasar sasaran potensial (konsumen) relatif dekat yaitu Kota Jambi (±40 km), Sengeti (±18 km) dan Muaro Bulian ± 9 km. Pada sisi lain areal pengembangan juga dekat dengan sumber input pakan utama (pelepah sawit) yaitu areal perkebunan PTPN VI di Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi. Usaha integrasi merupakan upaya tindak lanjut himbauan Menteri Negara BUMN (Dahlan Iskan) kepada BUMN Perkebunan agar dapat menjadi pelopor pengembangan usaha integrasi sawit sapi. Sebagai bentuk implementasi maka telah dibentuk suatu unit usaha tersendiri (coorporate) yang langsung berada di bawah komando Direktur Perencanaan dan Pengembangan (Renbang). Pembentukan struktur manajemen usaha integrasi sawit sapi berdasarkan pada SK. No. 08/06.D1/III/2012 tanggal 27 Maret 2012 tentang Penyempurnaan Struktur Organisasi (SO) PTP Nusantara VI (Persero).
1.2  Tujuan
Tujuan untuk mengetahui usaha pengembangan integrasi sawit sapi potong yang memiliki tujuan ganda yaitu menyediakan ternak sapi siap potong melalui unit usaha penggemukan (fattening) dan ternak sapi bibit sebar melalui unit usaha pembibitan (breeding) serta beberapa tujuan lain, yaitu a) memanfaatkan limbah perkebunan kelapa sawit terutama pelepah sawit sebagai sumber pakan ternak sapi potong, b) menyediakan pupuk organik padat berupa limbah usaha ternak sapi potong guna memenuhi kebutuhan pupuk tanaman kelapa sawit, c) memanfaatkan areal dan bangunan eks pabrik crumb rubber milik PTPN VI untuk pengembangan usaha produktif, d) menyediakan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar lokasi pengembangan usaha integrasi sawit sapi, dan e) membantu pemerintah daerah setempat dalam penyediaan daging ternak sapi potong.
1.3  Manfaat
Manfaat dari praktikum ini, mahasiswa mampu menganalisa dan membuka cakrawala pemikiran tentang potensi besar yang dapat dikembangkan didaerah untuk usaha Integrasi sapi – sawit.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ketersediaan daging sapi diharapkan seluruhnya berasal dari dalam negeri, tidak perlu impor lagi. Jika diasumsikan jumlah penduduk seperti pada tahun 2010 dengan peningkatan konsumsi daging sapi 10 kg/kapita/tahun, paling tidak perlu tersedia 10 juta ekor sapi setiap tahun (fikar dan ruhyadi 2010).
Dalam Renstra Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2010-2014 menyebutkan program pemerintah ini harus mendapatkan dukungan dari instansi terkait. Pada kementerian BUMN dalam renstra tersebut diharapkan dapat berkontribusi dalam program swasembada daging sapi melalui:
1.      Pemanfaatan dana CSR dari BUMN untuk bidang peternakan
2.      Pengembangan sistem integrasi kelapa sawit dan sapi potong (SISKA)
3.      Mendorong pengembangan sub sistem pembibitan oleh swasta/BUMN
4.      Dukungan penggunaan pupuk organik asal ternak.
Hal inilah yang menjadikan program integrasi sawit dan sapi harus dilaksanakan di Perkebunan Nusantara yang ada komoditas kelapa sawitnya (PPKS, 2012).
Laju peningkatan populasi sapi potong menurut Dirjen peternakan pada tahun 2008 hanya sekitar 6%, sedangkan kebutuhan masyarakat tehadap daging sapi meningkat dengan pesat. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya kesenjangan antara permintaan dan penawaran (Erlangga 2012).
Menurut Dirjen Peternakan RI, kebutuhan sapi potong nasional pada tahun 2009 mencapai 2,1 juta ekor sapi. Sebanyak 1,1 juta ekor dari kebutuhan tersebut dipasok dari dalam negeri, sedangkan 700 ribu ekor sapi masih harus dipasok dari impor. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia 240 juta jiwa dan konsumsi daging sapi 1,8 kg/kapita/tahun, saat ini dibutuhkan 432 juta kilogram daging sapi atau jika dikonversikan menjadi sapi hidup setara dengan 2,5 juta ekor sapi. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian tengah gencar menyukseskan program swasembada daging sapi yang harus dicapai pada tahun 2014. Karena itu, ketersediaan daging sapi diharapkan seluruhnya berasal dari dalam negeri, tidak perlu impor lagi. Jika diasumsikan jumlah penduduk seperti pada tahun 2010 dengan peningkatan konsumsi daging sapi 10 kg/kapita/tahun, paling tidak perlu tersedia 10 juta ekor sapi setiap tahun (Fikar dan Ruhyadi 2010).
Menurut Uum Umiyasih ( 2003) limbah pabrik kelapa sawit yang dapat dijadikan sebagai pakan sapi adalah tandan buah kosong, serat perasan buah, bungkil kelapa sawit serta lumpur atau Palm Sludge.


BAB III
MATERI DAN METODA
3.1.Tempat dan Waktu
Praktikum integrasi peternakan mengenai integrasi sapi-sawit dilaksanakan di PTP.Nusantara VI pada tanggal 3 Desember 2016 pukul 08:00 WIB S.d 10:00 WIB.
3.2.Materi
Peralatan yang digunakan hanya berupa catatan pribadi berupa perlengkapan alat tulis untuk mengambil data, dan kamera untuk mengambil gambar tentang keadaan integrasi spi-sawit di PTP.Nusantara VI.

3.2.  Metoda
Metode yang digunakan adalah pengamatan secara langsung dilapangan, sehingga mengetahui secara nyata bagaimana kondisi ternak yang ada di PTP.Nusantara VI. Untuk mendapatkan informasi, metode yang digunakan adalah Tanya jawab dengan pengelola PTP.Nusantara sehingga diperoleh data dan informasi yang akurat.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
PTP.Nusantara VI
Integrasi Sapi Sawit di PT Perkebunan Nusantara VI (Persero) dimulai dengan mendirikan Unit Usaha Integrasi Sapi Sawit pada bulan Februari 2012 dengan struktur organisasi pada Bagan 1.UU.ISS terletak di Desa Muaro Sebo Kecamatan Jaluko Kabupaten Muaro Jambi dengan jarak dari kota Jambi ± 45 km atau dari kota Muara Bulian ± 30 km. Lokasi untuk Unit Usaha Integrasi Sapi Sawit memanfaatkan lokasi eks.pabrik CRF yang sudah tidak beroperasi selama sekitar ± 4 tahun.
Rumpun sapi bakalan
Sapi yang dikelola adalah ras sapi Bali dan PO (Peranakan Ongole), serta sebagian kecil jenis Simental, FH (Fries Holstein), dan lain-lain. Sapi yang dikelola berjumlah 2.000 ekor dengan komposisi 70% penggemukan (fattening) dan 30% pembiakan (breeding). Bakalan sapi tersebut dibeli dari Sentra Pembibitan Sapi di Indonesia dan telah mendapat rekomendasi dari Pemerintah (Dinas Peternakan). Bakalan sapi yang dibeli berumur minimal 12 bulan. Pemilihan bakalan sapi jenis lokal ini disebabkan karena daya adaptifnya terhadap lingkungan cukup baik serta tahan terhadap perubahan jenis pakan. Jumlah sapi keseluruhan pada Desember 2016 1056 ekor. Hal ini tentu membantu penyediaan daging sapi daerah dan sesuai teori yang mengatakan Ketersediaan daging sapi diharapkan seluruhnya berasal dari dalam negeri, tidak perlu impor lagi. Jika diasumsikan jumlah penduduk seperti pada tahun 2010 dengan peningkatan konsumsi daging sapi 10 kg/kapita/tahun, paling tidak perlu tersedia 10 juta ekor sapi setiap tahun (fikar dan ruhyadi 2010). Laju peningkatan populasi sapi potong menurut Dirjen peternakan pada tahun 2008 hanya sekitar 6%, sedangkan kebutuhan masyarakat tehadap daging sapi meningkat dengan pesat. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya kesenjangan antara permintaan dan penawaran (Erlangga 2012).

Bagan 1. Struktur organisasi Unit Usaha Integrasi Sapi Sawit
Sistem Perkandangan
Penggemukan dan pembiakan dilakukan dengan sistem intensif yaitu sapi tetap berada di kandang, tidak digembalakan di luar kandang. Digunakan sistem kandang koloni/komunal yaitu model kandang yang menempatkan beberapa ekor ternak secara bebas tanpa diikat dengan norma 3 m2 per ekor sapi. Untuk alas kandang diberikan fiber hasil by-product dari pabrik kelapa sawit. Keunggulan Sistem Kandang Koloni adalah:
1.      Efisiensi penggunaan tenaga kerja, satu orang anak kandang mengelola 100-150 ekor sapi
2.      Tidak membutuhkan pengamatan khusus terhadap aktivitas reproduksinya karena ternak kawin sendiri
3.       Pembersihan feses 3-4 kali dalam satu tahun.

Gambar 1. Sapi Bali                                                  Gambar 2. Sapi PO

Gambar 3. Kandang koloni                       Gambar 4. Fiber sebagai alas kandang


Pakan
Daya dukung kebun kelapa sawit
Perkebunan kelapa sawit adalah lumbung bahan pakan yang “tidur” yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung percepatan peningkatan populasi sapi di Indonesia. Walaupun demikian, produksi pelepah yang bisa digunakan maksimum hanya 50% dari pelepah yang berasal dari proses panen, sisanya harus tetap berada di kebun untuk mencegah erosi dan tetap mempertahankan iklim mikro tanaman. Dengan asumsi tersebut maka 1 ha kebun kelapa sawit dapat mensuplai hijauan untuk 1 ekor sapi. Sumber pelepah Unit Usaha Integrasi Sapi Sawit berasal Unit Usaha Batanghari yang jaraknya ±7,2 km. Luas efektif Unit Usaha Batanghari adalah 2.025 ha sehingga dapat mensuplai hijauan untuk 2.000 ekor sapi.
Formula pakan
Melalui pola Integrasi Sawit Sapi, pelepah sawit akan menjadi komponen utama sebagai pengganti hijauan rumput, ditambah dengan limbah dari pabrik kelapa sawit berupa bungkil inti sawit, onggok, dedak padi, molasses, garam, dan kapur. Pakan tersebut diberikan dua kali sehari dengan, proses pembuatan pakan (Gambar 5). Hal ini sesuai teori Uum Umiyasih ( 2003) limbah pabrik kelapa sawit yang dapat dijadikan sebagai pakan sapi adalah tandan buah kosong, serat perasan buah, bungkil kelapa sawit serta lumpur atau Palm Sludge.


Pada saat ini penyusunan formula komposisi pakan terus menerus dilakukan untuk mendapatkan formulasi yang ideal yang bekerja sama dengan Dinas Peternakan, Balai Penelitian Sapi Potong dan Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

Manajemen Penggemukan dan Pembibitan
Usaha integrasi sawit sapimemiliki struktur manajemen yang dikelola oleh organisasi tersendiri karena menjadi salah satu unit usaha di bawah koordinasi PTPN VI. Secara umum manajemen fattening terdiri dari 3 (tiga) aktivitas yaitu pengadaan (pemasukan) sapi bakalan, pemeliharaan (penggemukan) dan penjualan (pengeluaran) ternak sapi potong siap jual.

Gambar.6 aktivitas dalam manajemen fattening

Pelaksanaan fungsi manajemen mencakup upaya pengawasan ternak sapi masuk (bakalan), pemeliharaan (budidaya) dan keluar (sapi siap potong atau jual) melalui proses pencatatan (recording) yang mencakup;
a.       Recording ternak bakalan masuk baik melalui proses pembeliaan (lingkungan eksternal) maupun dari unit usaha pembibitan yang mencakup waktu (tanggal, bulan dan tahun), jumlah ternak, jenis atau bangsa ternak sapi, serta status kesehatan dan umur ternak bakalan. Setiap ternak bakalan yang masuk akan ditandai dengan pemberian nomor telinga (eartag) atau kalung leher Kaidah pemberian nomor mulai angka 0001 sampai dengan tak terhingga dan berurutan dari terendah berdasarkan sapi tersebut terdata.
b.      Recording ternak bakalan selama proses pemeliharaan (budidaya) untuk proses penggemukan mencakup jumlah ternak untuk setiap unit kandang, ternak sakit dan mati. Penempatan ternak sapi untuk setiap unit kandang diupayakan seragam baik dari sisi umur maupun bobot badan guna menghindari ternak sapi yang tidak memperoleh pakan cukup akibat kalah bersaing dengan ternak sapi lainnya dalam kandang koloni yang sama. Pengamatan ternak sapi bakalan penggemukan dilakukan secara berkala dan untuk ternak yang terlihat mengalami gejala serangan penyakit akan dipindahkan ke kandang isolasi, sedang ternak yang kalah bersaing dipindahkan ke unit kandang lain yang memiliki bobot tubuh yang relatif seragam.
c.       Recording ternak sapi siap potong keluar areal usaha integrasi sawit sapibaik untuk tujuan dijual atau dipotong disesuaikan dengan capaian bobot badan akhir (siap jual) dan jangka waktu penggemukan serta situasi permintaan pasar. Informasi yang dicatat mencakup jumlah dan jenis ternak sapi siap potong yang akan dijual serta bobot badan dan kondisi kesehatan ternak.

Gambar 7. Tahapan tetap prosedur pembibitan sapi potong

Manajemen pembibitan adalah kegiatan yang mencakup kegiatan-kegiatan dari pemasukan dan penangganan bibit dasar sampai pada pemanfaatan bibit hasil produksi. Gambaran umum proses produksi bibit sapi potong dalam suatu model manajemen yang berkelanjutan disajikan pada Gambar 3. Tujuan unit usaha pembibitan adalah untuk menghasilkan bibit ternak baik betina calon induk maupun bakalan dengan pertimbangan daya adaptasi ternak baik terhadap iklim mikro maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pemasukan ternak bibit dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu ternak bibit stock awal (tahun 1 - 4) dan ternak pengganti (replacement) sesuai kebutuhan dan ketersediaan ternak bibit pada unit usaha pembibitan. Untuk menentukan bibit calon induk yang dipelihara digunakan kriteria umum dan khusus bibit Sapi Potong berdasarkan Good Breeding Practice (GBP). dengan kriteria umum sebagai berikut a) sapi bibit sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti kebutaan, tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta tidak terdapat kelainan tulang punggung atau cacat tubuh lainnya, b) semua sapi bibit betina harus bebas dari cacat alat reproduksi, abnormal ambing serta tidak menunjukkan gejala kemandulan, c) sapi bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat kelaminnya, d) sistem perkawinan ternak sapi terdiri dari perkawinan alami dan IB (Inseminasi Buatan).

Aspek Teknis
Pemanfaatan kotoran
Kotoran sapi basah yang dihasilkan per hari per ekor sapi rata-rata 7 kg dan waktu pembongkaran kotoran sapi dilakukan tiga bulan sekali. Selama periode tersebut, sapi tidak dimandikan dan tidak terlihat mengalami penyakit gangguan kulit atau penyakit lainnya. Kompos eks kotoran sapi yang telah dibongkar, pada saat ini telah dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada areal TBM dan TM dengan dosis 50 kg/pokok. Dosis tersebut berdasarkan rekomendasi dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit, didasarkan dari hasil analisa kotoran sapi oleh laboratorium Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Kompos kotoran sapi telah diaplikasikan di Unit Usaha Batanghari mulai bulan September 2012.
Pakan dan populasi
Ternak sapi yang dipelihara terdiri dari 2 (dua) jenis bangsa sapi yaitu Sapi Bali dan Peranakan Ongol (PO) yang berasal dari Provinsi Lampung. Sesuai dengan tujuan pengembangan usaha maka kelompok ternak sapi bibit terdiri dari betina muda (calon induk) untuk tujuan usaha pembibitan (breeding) dan ternak bakalan (jantan muda) untuk tujuan penggemukan (fattening). Pengadaan ternak bakalan kedua jenis bangsa setiap tahun komposinya semakin kecil karena setelah tahun ke-3 (2014) sebagian akan diperoleh dari hasil pembibitan sendiri dan setelah tahun ke 4 (2015) seluruh bakalan merupakan hasil pembibitan sendiri. Jumlah itu kini hanya mencapai 1056 hingga Desember 2016. Menurut Dirjen Peternakan RI, kebutuhan sapi potong nasional pada tahun 2009 mencapai 2,1 juta ekor sapi. Sebanyak 1,1 juta ekor dari kebutuhan tersebut dipasok dari dalam negeri, sedangkan 700 ribu ekor sapi masih harus dipasok dari impor. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia 240 juta jiwa dan konsumsi daging sapi 1,8 kg/kapita/tahun, saat ini dibutuhkan 432 juta kilogram daging sapi atau jika dikonversikan menjadi sapi hidup setara dengan 2,5 juta ekor sapi. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian tengah gencar menyukseskan program swasembada daging sapi yang harus dicapai pada tahun 2014. Karena itu, ketersediaan daging sapi diharapkan seluruhnya berasal dari dalam negeri, tidak perlu impor lagi. Jika diasumsikan jumlah penduduk seperti pada tahun 2010 dengan peningkatan konsumsi daging sapi 10 kg/kapita/tahun, paling tidak perlu tersedia 10 juta ekor sapi setiap tahun (Fikar dan Ruhyadi 2010).
Hal yang sama juga dilakukan pada ternak sapi untuk tujuan pembibitan (betina muda calon induk) setelah tahun ke-4 dihentikan dengan asumsi bahwa seluruh ternak sapi induk telah mampu memenuhi kebutuhan baik untuk penyediaan ternak sapi bakalan maupun pengganti (replacement) induk yang sudah tidak produktif dan dijual dalam bentuk ternak afkir. Sumber utama pakan ternak sapi potong yang dibudidayakan adalah limbah perkebunan berupa pelepah sawit dan limbah pabrik kelapa sawit (PKS) berupa bungkil kelapa sawit. Sumber utama limbah sebagai bahan pakan ternak sapi potong berasal dari perkebunan sawit terutama yang terdapat pada wilayah Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi serta PKS milik PTPN VI yang tersebar pada beberapa wilayah kerja perusahaan.
Berdasarkan indikator asumsi dari 9.521 Ha areal perkebunan sawit setiap tahun akan mampu menghasilkan 59.906 ton pelepah sawit segar dan dengan penggunaan 80% sebagai bahan pakan penyusuan ransum dan rataan konsumsi ternak sapi 10 kg/ekor/hari maka pelepah sawit yang dihasilkan mampu memenuhi kebutuhan 20.516 ekor ternak sapi potong. Pemberian pelepah sawit kepada ternak sapi potong dilakukan setelah dilakukan perajangan dengan menggunakan beberapa unit mesin perajang (chopper). Setiap unit chopper dioperasikan oleh 4 orang, dan selanjutnya akan dicampur dengan bahan baku pakan lain dengan menggunakan mixer (mesin pengaduk). Bungkil kelapa sawit dengan kandungan protein mencapai 15% digunakan sebagai sumber protein yang dicampur langsung dengan hasil rajangan pelepah sawit dan bahan pakan lainnya.
Bungkil kelapa sawit dibawa langsung dari sejumlah PKS yang sampai tahun 2011 tercatat ada 5 unit PKS milik PTPN VI dengan kapasitas produksi mencapai 230 ton TBS/jam. Perolehan sumber bahan pakan utama berupa pelepah dan bungkil kelapa sawit adalah dari unit usaha lain (perkebunan dan PKS PTPN VI) sedangkan bahan penyusun pakan lain diperoleh melalui pembelian. Penggunaan bahan penyusun pakan olahan sendiri sebagai bahan pakan utama diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha integrasi dan memberikan keuntungan yang lebih besar pada perusahaan.
Sarana utama berupa kandang pemeliharaan dipisah antara sapi potong untuk tujuan usaha pembibitan dan penggemukan. Pemeliharaan ternak untuk penggemukan dilakukan secara intensif pada kandang koloni dengan kapasitas sesuai ukuran kandang koloni. Pemeliharaan ternak sapi bibit akan dilakukan secara semi-intesif dengan menyediakan umbaran (tempat bermain) bagi ternak betina pada areal sekitar kandang. Kandang penggemukan merupakan eks-pabrik crumb rubber PTPN VI yang ditata ulang untuk pemeliharaan ternak sapi potong yang terdiri dari 35 unit kandang koloni.
Kandang kelompok atau dikenal dengan koloni/komunal merupakan model kandang dalam suatu ruangan kandang ditempatkan sejumlah ternak, secara bebas tanpa diikat. Keunggulan model kandang koloni dibanding kandang individu adalah efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja rutin terutama pembersihan kotoran kandang, Tipe lantai yang digunakan adalah alas litter, dan pembongkaran litter lantai kandang di lakukan apabila tinggi litter mencapai setinggi 20 cm, atau dilakukan pembersihan sekitar 3 – 4 kali dalam setahun. Pemanfaatan bangunan eks-pabrik crumb rubber sebagai kandang penggemukan didasarkan pada pertimbangan bahwa kandang untuk penggemukan tidak butuh banyak variasi sehingga rekonstruksi atau modifikasi dapat dengan mudah dilakukan. Kandang kelompok atau dikenal dengan koloni/komunal merupakan model kandang dalam suatu ruangan kandang ditempatkan sejumlah ternak, secara bebas tanpa diikat. Variasi kandang koloni hanya pada ukuran kandang yang selanjutnya akan mempengaruhi kapasitas tampung dari masing-masing kandang.
Luas kandang untuk penggemukan seluruhnya mencapai 4.148 m2 yang terbagi dalam 41 unit kandang koloni dengan 13 variasi ukuran dengan daya tampung total mencapai 1.381 ekor. Penentuan kapasitas kandang berdasarkan pada standar ideal yang telah ditetapkan bahwa setiap ekor ternak sapi dewasa membutuhkan ruang kandang dengan luas rata-rata 3 m2. Kandang untuk ternak sapi tujuan pembibitan lebih bervariasi tergantung pada umur dan kondisi ternak sapi yang dipelihara yang secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.       Kandang induk dan/atau calon induk (betina remaja) dibangun berbentuk kandang koloni beratap sebagian pada bagian depan kandang (terutama tempat lungan) dan model kandang kelompok ini identik disebut juga dengan kandang umbaran terbatas. Lantai kandang model ini menggunakan lantai semen atau beton berpori (model wavin) terutama pada bagian lantai yang tidak beratap. Pada bagian belakang kandang dilengkapi selokan pembuangan terutama untuk menjaga kebersihan lantai kandang pada musim hujan. Alas lantai pada model kandang ini tidak menggunakan alas dasar litter, namun bahan alas litter hanya disebarkan pada lantai (terutama lantai yang beratap) yang becek.
b.      Kandang induk bunting dan melahirkan dikembangkan dalam bentuk kandang individu dengan dua baris dengan penempatan sapi pada posisi ekor berlawanan (tail to tail) sehingga tempat pakan terletak masing-masing sisi kandang.

Pada tahun selanjutnya juga akan dikembangkan kandang khusus untuk sapi bunting lebih dari 6 bulan sampai melahirkan dan kandang anak (pedet) sampai umur 1 tahun serta berbagai sarana pendukung lainnya termasuk kandang isolasi dan karantina, kandang jepit (penimbangan, pemeriksaan kebuntingan, deteksi penyakit dan inseminasi buatan) serta sarana bongkar muat ternak (modifikasi lokasi bongkar muat eks-pabrik CRF).


Aspek Produksi
Sesuai dengan tujuan usaha yaitu penggemukan (fattening) dan pembibitan (breeding) maka produk utama usaha adalah ternak sapi siap potong (hasil penggemukan) dan ternak betina muda calon induk atau bibit sebar (umur > 1 tahun). Volume produksi yang dihasilkan setiap tahun dalam usaha integrasi sawit sapi tergantung pada proses pengadaan dan perkembangan populasi ternak dipelihara. Produk utama usaha integrasi adalah penggemukan dan pembibitan tetapi sumber penerimaan usaha tidak hanya ternak sapi bakalan siap jual (hasil penggemukan) dan bibit sebar (betina muda > 1 tahun) tetapi juga bersumber dari:
a.       Penjualan ternak sapi afkiran yaitu induk dan pejantan yang dianggap atau hasil pengamatan sudah tidak produktif dan untuk memenuhi kebutuhan dilakukan replacement dengan ternak sapi jantan dan betina muda hasil seleksi (layak bibit).
b.      Penjualan betina majir yaitu ternak betina muda yang awalnya disiapkan sebagai calon induk tetapi dalam perjalanannya ternyata tidak memiliki kemampuan reproduksi (tidak mengalami kebuntingan dan melahirkan anak).

Pada tahun awal kegiatan (4 tahun pertama), sumber utama penjualan adalah ternak sapi siap potong hasil penggemukan yang disupplay dari luar usaha peternakan (eksternal). Peningkatan pada tahun ke-4 karena sumber bakalan disamping dari luar usaha sendiri juga berasal dari ternak bakalan hasil pembibitan sendiri dan setelah tahun-tahun tersebut pengadaan bakalan mulai dikurangi dan beralih pada bakalan yang berasal dari usaha pembibitan sendiri (mandiri). Seluruh pedet setelah dikurangi hasil seleksi jantan muda sebagai calon ternak sapi pejantan akan digunakan untuk penggemukan. Jantan muda hasil seleksi akan digunakan untuk replacement (pengganti) pejantan akhir dan menyesuaikan dengan perkembangan populasi induk sehingga imbangan ideal 1 : 10 dapat dipertahankan. Komponen jenis output yang dijual setiap tahun tetap sapi siap potong hasil penggemukan dan diikuti dengan sapi betina bibit sebar. Penjualan pejantan dan induk hanya dilakukan setelah masa afkir dan digantikan dengan ternak hasil pembibitan sendiri.
Pemeliharaan pejantan tetap menjadi sesuatu yang penting meskipun nantinya dalam perjalanan usaha integrasi untuk perkembangan biakan tidak mengandalkan kawin alami tetapi lebih pada Inseminasi Buatan (IB). Setelah tahun ke 8 proyek atau tahun 2020 pertumbuhan volume penjualan ternak sapi masing-masing kelompok produk ternak akan menjadi stabil dengan skala usaha antara 12.000 – 13.000 ekor dengan volume penjualan mencapai sekitar 3.500 ekor/tahun yang terdiri dari 5 jenis produk. Hal ini ini tentu mendapat dukungan berdasarkan Renstra Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2010-2014 menyebutkan program pemerintah ini harus mendapatkan dukungan dari instansi terkait. Pada kementerian BUMN dalam renstra tersebut diharapkan dapat berkontribusi dalam program swasembada daging sapi melalui:
1.      Pemanfaatan dana CSR dari BUMN untuk bidang peternakan
2.      Pengembangan sistem integrasi kelapa sawit dan sapi potong (SISKA)
3.      Mendorong pengembangan sub sistem pembibitan oleh swasta/BUMN
4.      Dukungan penggunaan pupuk organik asal ternak.
Hal inilah yang menjadikan program integrasi sawit dan sapi harus dilaksanakan di Perkebunan Nusantara yang ada komoditas kelapa sawitnya (PPKS, 2012).






BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pelepah sawit dapat digunakan sebagai sumber serat dalam pakan komplit sapi potong dengan menambahkan sumber protein maupun mineral. Model integrasi sapi dan kelapa sawit secara intensif menghasilkan pupuk kandang yang sesuai diaplikasikan untuk tanaman kelapa sawit.
5.2 Saran
Praktikan harus lebih aktif untuk mengorek informasi yang akurat dari pengelola dilapangan sehingga menambah wawasan terkait system integrasi sapi-sawit.



DAFTAR PUSTAKA
Erlangga E. 2012. Asyiknya panen rupiah dari beternak sapi potong. Pustaka Agro Mandiri. Pamulang-Tangerang Selatan.
Fikar S, Ruhyadi D. 2010. Beternak dan bisnis sapi potong. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.
Majalah Tanam. 2013. ISS jadi proyek nasional. Majalah Tanam edisi III.Tahun II Januari- Februari 2013.
Novra ardi.2016. Study Kelayakan Usaha Integrasi Sawit-Sapi PTP. Nusantara VI.Jambi
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). 2012. Integrasi sawit, sapi dan energi. Edisi I. 2012.