BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Ketahanan pangan dan energi merupakan pilar utama
stabilitas nasional dan ketergantungan terhadap pangan impor tidak hanya
menyebabkan pemborosan devisa tetapi juga dapat menyebabkan in-stabilitas
sosial politik. Tujuan penyediaan pangan menurut UU No. 68 Tahun 2002 harus
sesuai dengan porsi pengeluaran yaitu penyediaan pangan untuk memenuhi konsumsi
seluruh rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu serta
tersedianya cadangan pangan untuk antisipasi kekurangan dan kelebihan pangan,
gejolak harga dan atau keadaan darurat. Komoditas daging sapi menjadi salah
satu dari 5 komoditas strategis dalam program Revitalisasi Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan (RPPK) yang menegaskan kesadaran untuk menempatkan kembali arti
penting pertanian secara proposional dan kontekstual. Pengembangan usaha
integrasi sawit dan ternak sapi didasarkan pada pemikiran pemanfaatan
sumberdaya pada suatu komoditas bagi pengembangan komoditas lain guna mendorong
terciptanya interaksi saling menguntungkan (simbiosis mutualism).
Industri persawitan baik perkebunan maupun industri pengolahan (CPO)
menyediakan sumber pakan yang sangat potensial dalam pengembangan usaha
peternakan sapi potong, dan sebaliknya limbah peternakan berupa feses bercampur
sisa pakan akan menjadi sumber pupuk organik untuk perkebunan kelapa sawit.
Lokasi pengembangan usaha integrasi sawit sapi PTPN VI di Desa Muhajirin
memiliki aksesibilitas sangat baik dengan jalan masuk sekitar 2 km dari jalan
raya Ness (jalan pengerasan) dengan jarak dari pasar sasaran potensial
(konsumen) relatif dekat yaitu Kota Jambi (±40 km), Sengeti (±18 km) dan Muaro
Bulian ± 9 km. Pada sisi lain areal pengembangan juga dekat dengan sumber input
pakan utama (pelepah sawit) yaitu areal perkebunan PTPN VI di Kabupaten
Batanghari dan Muaro Jambi. Usaha integrasi merupakan upaya tindak lanjut
himbauan Menteri Negara BUMN (Dahlan Iskan) kepada BUMN Perkebunan agar dapat
menjadi pelopor pengembangan usaha integrasi sawit sapi. Sebagai bentuk
implementasi maka telah dibentuk suatu unit usaha tersendiri (coorporate)
yang langsung berada di bawah komando Direktur Perencanaan dan Pengembangan
(Renbang). Pembentukan struktur manajemen usaha integrasi sawit sapi
berdasarkan pada SK. No. 08/06.D1/III/2012 tanggal 27 Maret 2012 tentang
Penyempurnaan Struktur Organisasi (SO) PTP Nusantara VI (Persero).
1.2 Tujuan
Tujuan untuk mengetahui usaha pengembangan integrasi sawit sapi
potong yang
memiliki tujuan ganda
yaitu menyediakan ternak sapi siap potong melalui unit usaha penggemukan (fattening)
dan ternak sapi bibit sebar melalui unit usaha pembibitan (breeding)
serta beberapa tujuan lain, yaitu a) memanfaatkan limbah perkebunan kelapa
sawit terutama pelepah sawit sebagai sumber pakan ternak sapi potong, b)
menyediakan pupuk organik padat berupa limbah usaha ternak sapi potong guna
memenuhi kebutuhan pupuk tanaman kelapa sawit, c) memanfaatkan areal dan
bangunan eks pabrik crumb rubber milik PTPN VI untuk pengembangan usaha
produktif, d) menyediakan kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar lokasi
pengembangan usaha integrasi sawit sapi, dan e) membantu pemerintah daerah
setempat dalam penyediaan daging ternak sapi potong.
1.3 Manfaat
Manfaat dari praktikum ini,
mahasiswa mampu menganalisa dan membuka cakrawala pemikiran tentang potensi
besar yang dapat dikembangkan didaerah untuk usaha Integrasi sapi – sawit.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Ketersediaan
daging sapi diharapkan seluruhnya berasal dari dalam negeri, tidak perlu impor
lagi. Jika diasumsikan jumlah penduduk seperti pada tahun 2010 dengan
peningkatan konsumsi daging sapi 10 kg/kapita/tahun, paling tidak perlu
tersedia 10 juta ekor sapi setiap tahun (fikar dan ruhyadi 2010).
Dalam Renstra
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2010-2014 menyebutkan
program pemerintah ini harus mendapatkan dukungan dari instansi terkait. Pada
kementerian BUMN dalam renstra tersebut diharapkan dapat berkontribusi dalam
program swasembada daging sapi melalui:
1.
Pemanfaatan
dana CSR dari BUMN untuk bidang peternakan
2.
Pengembangan
sistem integrasi kelapa sawit dan sapi potong (SISKA)
3.
Mendorong
pengembangan sub sistem pembibitan oleh swasta/BUMN
4.
Dukungan
penggunaan pupuk organik asal ternak.
Hal inilah yang menjadikan program
integrasi sawit dan sapi harus dilaksanakan di Perkebunan Nusantara yang ada
komoditas kelapa sawitnya (PPKS, 2012).
Laju peningkatan populasi sapi potong menurut Dirjen peternakan pada
tahun 2008 hanya sekitar 6%, sedangkan kebutuhan masyarakat tehadap daging sapi
meningkat dengan pesat. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya kesenjangan
antara permintaan dan penawaran (Erlangga 2012).
Menurut Dirjen Peternakan RI, kebutuhan sapi potong nasional pada tahun
2009 mencapai 2,1 juta ekor sapi. Sebanyak 1,1 juta ekor dari kebutuhan
tersebut dipasok dari dalam negeri, sedangkan 700 ribu ekor sapi masih harus
dipasok dari impor. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia 240 juta jiwa dan
konsumsi daging sapi 1,8 kg/kapita/tahun, saat ini
dibutuhkan 432 juta kilogram daging sapi atau jika dikonversikan menjadi sapi
hidup setara dengan 2,5 juta ekor sapi. Pemerintah melalui Kementerian
Pertanian tengah gencar menyukseskan program swasembada daging sapi yang harus
dicapai pada tahun 2014. Karena itu, ketersediaan daging sapi diharapkan
seluruhnya berasal dari dalam negeri, tidak perlu impor lagi. Jika diasumsikan
jumlah penduduk seperti pada tahun 2010 dengan peningkatan konsumsi daging sapi
10 kg/kapita/tahun, paling tidak perlu tersedia 10 juta ekor sapi setiap tahun
(Fikar dan Ruhyadi 2010).
Menurut Uum Umiyasih ( 2003)
limbah pabrik kelapa sawit yang dapat dijadikan sebagai pakan sapi adalah
tandan buah kosong, serat perasan buah, bungkil kelapa sawit serta lumpur atau
Palm Sludge.
BAB III
MATERI DAN
METODA
3.1.Tempat dan Waktu
Praktikum integrasi peternakan mengenai integrasi sapi-sawit dilaksanakan di
PTP.Nusantara VI pada tanggal 3 Desember 2016 pukul 08:00 WIB S.d 10:00 WIB.
3.2.Materi
Peralatan
yang digunakan hanya berupa catatan pribadi berupa perlengkapan alat tulis
untuk mengambil data, dan kamera untuk mengambil gambar tentang keadaan
integrasi spi-sawit di PTP.Nusantara VI.
3.2. Metoda
Metode yang digunakan adalah pengamatan secara langsung dilapangan,
sehingga mengetahui secara nyata bagaimana kondisi ternak yang ada di
PTP.Nusantara VI. Untuk mendapatkan informasi, metode yang digunakan adalah
Tanya jawab dengan pengelola PTP.Nusantara sehingga diperoleh data dan
informasi yang akurat.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
PTP.Nusantara
VI
Integrasi Sapi Sawit di PT Perkebunan
Nusantara VI (Persero) dimulai dengan mendirikan Unit Usaha Integrasi Sapi
Sawit pada bulan Februari 2012 dengan struktur organisasi pada Bagan 1.UU.ISS
terletak di Desa Muaro Sebo Kecamatan Jaluko Kabupaten Muaro Jambi dengan jarak
dari kota Jambi ± 45 km atau dari kota Muara Bulian ± 30 km. Lokasi untuk Unit
Usaha Integrasi Sapi Sawit memanfaatkan lokasi eks.pabrik CRF yang sudah tidak
beroperasi selama sekitar ± 4 tahun.
Rumpun sapi bakalan
Sapi yang dikelola adalah ras sapi Bali
dan PO (Peranakan Ongole), serta sebagian kecil jenis Simental, FH (Fries
Holstein), dan lain-lain. Sapi yang dikelola berjumlah 2.000 ekor dengan
komposisi 70% penggemukan (fattening) dan 30% pembiakan (breeding).
Bakalan sapi tersebut dibeli dari Sentra Pembibitan Sapi di Indonesia dan telah
mendapat rekomendasi dari Pemerintah (Dinas Peternakan). Bakalan sapi yang
dibeli berumur minimal 12 bulan. Pemilihan bakalan sapi jenis lokal ini
disebabkan karena daya adaptifnya terhadap lingkungan cukup baik serta tahan
terhadap perubahan jenis pakan. Jumlah sapi keseluruhan pada Desember 2016 1056
ekor. Hal ini tentu membantu penyediaan daging sapi daerah dan sesuai teori
yang mengatakan Ketersediaan daging sapi diharapkan
seluruhnya berasal dari dalam negeri, tidak perlu impor lagi. Jika diasumsikan
jumlah penduduk seperti pada tahun 2010 dengan peningkatan konsumsi daging sapi
10 kg/kapita/tahun, paling tidak perlu tersedia 10 juta ekor sapi setiap tahun
(fikar dan ruhyadi 2010).
Laju peningkatan populasi sapi potong
menurut Dirjen peternakan pada tahun 2008 hanya sekitar 6%, sedangkan kebutuhan
masyarakat tehadap daging sapi meningkat dengan pesat. Kondisi tersebut
mengakibatkan adanya kesenjangan antara permintaan dan penawaran (Erlangga
2012).
Bagan 1. Struktur organisasi Unit Usaha Integrasi
Sapi Sawit
Sistem Perkandangan
Penggemukan
dan pembiakan dilakukan dengan sistem intensif yaitu sapi tetap berada di
kandang, tidak digembalakan di luar kandang. Digunakan sistem kandang
koloni/komunal yaitu model kandang yang menempatkan beberapa ekor ternak secara
bebas tanpa diikat dengan norma 3 m2 per ekor sapi. Untuk alas kandang
diberikan fiber hasil by-product dari pabrik kelapa sawit. Keunggulan
Sistem Kandang Koloni adalah:
1.
Efisiensi
penggunaan tenaga kerja, satu orang anak kandang mengelola 100-150 ekor sapi
2.
Tidak
membutuhkan pengamatan khusus terhadap aktivitas reproduksinya karena ternak
kawin sendiri
3.
Pembersihan
feses 3-4 kali dalam satu tahun.
Gambar 1. Sapi
Bali Gambar
2. Sapi PO
Gambar 3. Kandang
koloni Gambar
4. Fiber sebagai
alas kandang
Pakan
Daya dukung
kebun kelapa sawit
Perkebunan kelapa sawit adalah lumbung
bahan pakan yang “tidur” yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung
percepatan peningkatan populasi sapi di Indonesia. Walaupun demikian, produksi
pelepah yang bisa digunakan maksimum hanya 50% dari pelepah yang berasal dari
proses panen, sisanya harus tetap berada di kebun untuk mencegah erosi dan
tetap mempertahankan iklim mikro tanaman. Dengan asumsi tersebut maka 1 ha
kebun kelapa sawit dapat mensuplai hijauan untuk 1 ekor sapi. Sumber pelepah Unit Usaha Integrasi Sapi
Sawit berasal Unit Usaha Batanghari yang jaraknya ±7,2 km. Luas efektif Unit
Usaha Batanghari adalah 2.025 ha sehingga dapat mensuplai hijauan untuk 2.000
ekor sapi.
Formula pakan
Melalui pola Integrasi Sawit Sapi, pelepah sawit akan menjadi komponen
utama sebagai pengganti hijauan rumput, ditambah dengan limbah dari pabrik
kelapa sawit berupa bungkil inti sawit, onggok, dedak padi, molasses, garam,
dan kapur. Pakan tersebut diberikan dua kali sehari dengan, proses pembuatan
pakan (Gambar 5). Hal ini sesuai teori Uum
Umiyasih ( 2003) limbah pabrik kelapa sawit yang dapat dijadikan sebagai pakan
sapi adalah tandan buah kosong, serat perasan buah, bungkil kelapa sawit serta
lumpur atau Palm Sludge.
Pada saat ini
penyusunan formula komposisi pakan terus menerus dilakukan untuk mendapatkan
formulasi yang ideal yang bekerja sama dengan Dinas Peternakan, Balai
Penelitian Sapi Potong dan Fakultas Peternakan Universitas Jambi.
Manajemen Penggemukan dan Pembibitan
Usaha integrasi
sawit sapimemiliki struktur manajemen yang dikelola oleh organisasi tersendiri
karena menjadi salah satu unit usaha di bawah koordinasi PTPN VI. Secara umum
manajemen fattening terdiri dari 3 (tiga) aktivitas yaitu pengadaan
(pemasukan) sapi bakalan, pemeliharaan (penggemukan) dan penjualan (pengeluaran)
ternak sapi potong siap jual.
Gambar.6 aktivitas dalam manajemen
fattening
Pelaksanaan
fungsi manajemen mencakup upaya pengawasan ternak sapi masuk (bakalan),
pemeliharaan (budidaya) dan keluar (sapi siap potong atau jual) melalui proses
pencatatan (recording) yang mencakup;
a.
Recording
ternak bakalan masuk baik melalui proses
pembeliaan (lingkungan eksternal) maupun dari unit usaha pembibitan yang
mencakup waktu (tanggal, bulan dan tahun), jumlah ternak, jenis atau bangsa
ternak sapi, serta status kesehatan dan umur ternak bakalan. Setiap ternak
bakalan yang masuk akan ditandai dengan pemberian nomor telinga (eartag)
atau kalung leher Kaidah pemberian nomor mulai angka 0001 sampai dengan tak
terhingga dan berurutan dari terendah berdasarkan sapi tersebut terdata.
b.
Recording
ternak bakalan selama proses pemeliharaan
(budidaya) untuk proses penggemukan mencakup jumlah ternak untuk setiap unit
kandang, ternak sakit dan mati. Penempatan ternak sapi untuk setiap unit
kandang diupayakan seragam baik dari sisi umur maupun bobot badan guna
menghindari ternak sapi yang tidak memperoleh pakan cukup akibat kalah bersaing
dengan ternak sapi lainnya dalam kandang koloni yang sama. Pengamatan ternak
sapi bakalan penggemukan dilakukan secara berkala dan untuk ternak yang
terlihat mengalami gejala serangan penyakit akan dipindahkan ke kandang
isolasi, sedang ternak yang kalah bersaing dipindahkan ke unit kandang lain
yang memiliki bobot tubuh yang relatif seragam.
c. Recording
ternak sapi siap potong keluar areal usaha integrasi sawit sapibaik
untuk tujuan dijual atau dipotong disesuaikan dengan capaian bobot badan akhir
(siap jual) dan jangka waktu penggemukan serta situasi permintaan pasar.
Informasi yang dicatat mencakup jumlah dan jenis ternak sapi siap potong yang
akan dijual serta bobot badan dan kondisi kesehatan ternak.
Gambar
7. Tahapan tetap prosedur pembibitan sapi potong
Manajemen
pembibitan adalah kegiatan yang mencakup kegiatan-kegiatan dari pemasukan dan
penangganan bibit dasar sampai pada pemanfaatan bibit hasil produksi. Gambaran
umum proses produksi bibit sapi potong dalam suatu model manajemen yang
berkelanjutan disajikan pada Gambar 3. Tujuan unit usaha pembibitan adalah
untuk menghasilkan bibit ternak baik betina calon induk maupun bakalan dengan
pertimbangan daya adaptasi ternak baik terhadap iklim mikro maupun kondisi
sosial ekonomi masyarakat. Pemasukan ternak bibit dilakukan melalui 2 (dua)
cara yaitu ternak bibit stock awal (tahun 1 - 4) dan ternak pengganti (replacement)
sesuai kebutuhan dan ketersediaan ternak bibit pada unit usaha pembibitan.
Untuk menentukan bibit calon induk yang dipelihara digunakan kriteria umum dan
khusus bibit Sapi Potong berdasarkan Good Breeding Practice (GBP).
dengan kriteria umum sebagai berikut a) sapi bibit sehat dan bebas dari segala
cacat fisik seperti kebutaan, tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan kuku
abnormal, serta tidak terdapat kelainan tulang punggung atau cacat tubuh
lainnya, b) semua sapi bibit betina harus bebas dari cacat alat reproduksi,
abnormal ambing serta tidak menunjukkan gejala kemandulan, c) sapi bibit jantan
harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat kelaminnya,
d) sistem perkawinan ternak sapi terdiri dari perkawinan alami dan IB
(Inseminasi Buatan).
Aspek Teknis
Pemanfaatan kotoran
Kotoran sapi basah yang dihasilkan per hari per ekor sapi rata-rata 7 kg
dan waktu pembongkaran kotoran sapi dilakukan tiga bulan sekali. Selama periode
tersebut, sapi tidak dimandikan dan tidak terlihat mengalami penyakit gangguan
kulit atau penyakit lainnya. Kompos eks kotoran sapi yang telah dibongkar, pada
saat ini telah dimanfaatkan sebagai
pupuk organik pada areal TBM dan TM dengan dosis 50 kg/pokok. Dosis tersebut
berdasarkan rekomendasi dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit, didasarkan dari
hasil analisa kotoran sapi oleh laboratorium Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Kompos kotoran sapi
telah diaplikasikan di Unit Usaha Batanghari mulai bulan September 2012.
Pakan dan populasi
Ternak sapi yang dipelihara terdiri dari 2
(dua) jenis bangsa sapi yaitu Sapi Bali dan Peranakan Ongol (PO) yang berasal
dari Provinsi Lampung. Sesuai dengan tujuan pengembangan usaha maka kelompok
ternak sapi bibit terdiri dari betina muda (calon induk) untuk tujuan usaha
pembibitan (breeding) dan ternak bakalan (jantan muda) untuk tujuan
penggemukan (fattening). Pengadaan ternak bakalan kedua jenis bangsa
setiap tahun komposinya semakin kecil karena setelah tahun ke-3 (2014) sebagian
akan diperoleh dari hasil pembibitan sendiri dan setelah tahun ke 4 (2015)
seluruh bakalan merupakan hasil pembibitan sendiri. Jumlah itu kini hanya
mencapai 1056 hingga Desember 2016. Menurut Dirjen Peternakan RI, kebutuhan sapi potong nasional pada tahun
2009 mencapai 2,1 juta ekor sapi. Sebanyak 1,1 juta ekor dari kebutuhan
tersebut dipasok dari dalam negeri, sedangkan 700 ribu ekor sapi masih harus
dipasok dari impor. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia 240 juta jiwa dan
konsumsi daging sapi 1,8 kg/kapita/tahun, saat ini
dibutuhkan 432 juta kilogram daging sapi atau jika dikonversikan menjadi sapi
hidup setara dengan 2,5 juta ekor sapi. Pemerintah melalui Kementerian
Pertanian tengah gencar menyukseskan program swasembada daging sapi yang harus
dicapai pada tahun 2014. Karena itu, ketersediaan daging sapi diharapkan
seluruhnya berasal dari dalam negeri, tidak perlu impor lagi. Jika diasumsikan
jumlah penduduk seperti pada tahun 2010 dengan peningkatan konsumsi daging sapi
10 kg/kapita/tahun, paling tidak perlu tersedia 10 juta ekor sapi setiap tahun
(Fikar dan Ruhyadi 2010).
Hal yang sama juga dilakukan pada ternak sapi untuk tujuan pembibitan
(betina muda calon induk) setelah tahun ke-4 dihentikan dengan asumsi bahwa
seluruh ternak sapi induk telah mampu memenuhi kebutuhan baik untuk penyediaan
ternak sapi bakalan maupun pengganti (replacement) induk yang sudah
tidak produktif dan dijual dalam bentuk ternak afkir. Sumber utama pakan ternak
sapi potong yang dibudidayakan adalah limbah perkebunan berupa pelepah sawit
dan limbah pabrik kelapa sawit (PKS) berupa bungkil kelapa sawit. Sumber utama limbah
sebagai bahan pakan ternak sapi potong berasal dari perkebunan sawit terutama
yang terdapat pada wilayah Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi serta PKS milik
PTPN VI yang tersebar pada beberapa wilayah kerja perusahaan.
Berdasarkan indikator asumsi dari 9.521 Ha areal perkebunan sawit setiap
tahun akan mampu menghasilkan 59.906 ton pelepah sawit segar dan dengan
penggunaan 80% sebagai bahan pakan penyusuan ransum dan rataan konsumsi ternak
sapi 10 kg/ekor/hari maka pelepah sawit yang dihasilkan mampu memenuhi
kebutuhan 20.516 ekor ternak sapi potong. Pemberian pelepah sawit kepada ternak
sapi potong dilakukan setelah dilakukan perajangan dengan menggunakan beberapa
unit mesin perajang (chopper). Setiap unit chopper dioperasikan oleh 4 orang,
dan selanjutnya akan dicampur dengan bahan baku pakan lain dengan menggunakan
mixer (mesin pengaduk). Bungkil kelapa sawit dengan kandungan protein mencapai
15% digunakan sebagai sumber protein yang dicampur langsung dengan hasil
rajangan pelepah sawit dan bahan pakan lainnya.
Bungkil kelapa sawit dibawa langsung dari sejumlah PKS yang sampai tahun
2011 tercatat ada 5 unit PKS milik PTPN VI dengan kapasitas produksi mencapai
230 ton TBS/jam. Perolehan sumber bahan pakan utama berupa pelepah dan bungkil
kelapa sawit adalah dari unit usaha lain (perkebunan dan PKS PTPN VI) sedangkan
bahan penyusun pakan lain diperoleh melalui pembelian. Penggunaan bahan
penyusun pakan olahan sendiri sebagai bahan pakan utama diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi usaha integrasi dan memberikan keuntungan yang lebih
besar pada perusahaan.
Sarana utama berupa kandang pemeliharaan dipisah antara sapi potong
untuk tujuan usaha pembibitan dan penggemukan. Pemeliharaan ternak untuk
penggemukan dilakukan secara intensif pada kandang koloni dengan kapasitas
sesuai ukuran kandang koloni. Pemeliharaan ternak sapi bibit akan dilakukan
secara semi-intesif dengan menyediakan umbaran (tempat bermain) bagi ternak
betina pada areal sekitar kandang. Kandang penggemukan merupakan eks-pabrik crumb
rubber PTPN VI yang ditata ulang untuk pemeliharaan ternak sapi potong yang
terdiri dari 35 unit kandang koloni.
Kandang kelompok
atau dikenal dengan koloni/komunal merupakan model kandang dalam suatu ruangan
kandang ditempatkan sejumlah ternak, secara bebas tanpa diikat. Keunggulan
model kandang koloni dibanding kandang individu adalah efisiensi dalam
penggunaan tenaga kerja rutin terutama pembersihan kotoran kandang, Tipe lantai
yang digunakan adalah alas litter, dan pembongkaran litter lantai kandang di
lakukan apabila tinggi litter mencapai setinggi 20 cm, atau dilakukan
pembersihan sekitar 3 – 4 kali dalam setahun. Pemanfaatan bangunan eks-pabrik crumb
rubber sebagai kandang penggemukan didasarkan pada pertimbangan bahwa
kandang untuk penggemukan tidak butuh banyak variasi sehingga rekonstruksi atau
modifikasi dapat dengan mudah dilakukan. Kandang kelompok atau dikenal dengan
koloni/komunal merupakan model kandang dalam suatu ruangan kandang ditempatkan
sejumlah ternak, secara bebas tanpa diikat. Variasi kandang koloni hanya pada
ukuran kandang yang selanjutnya akan mempengaruhi kapasitas tampung dari
masing-masing kandang.
Luas kandang
untuk penggemukan seluruhnya mencapai 4.148 m2 yang terbagi dalam 41 unit
kandang koloni dengan 13 variasi ukuran dengan daya tampung total mencapai
1.381 ekor. Penentuan kapasitas kandang berdasarkan pada standar ideal yang
telah ditetapkan bahwa setiap ekor ternak sapi dewasa membutuhkan ruang kandang
dengan luas rata-rata 3 m2. Kandang untuk ternak sapi tujuan pembibitan lebih
bervariasi tergantung pada umur dan kondisi ternak sapi yang dipelihara yang
secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.
Kandang
induk dan/atau calon induk (betina remaja) dibangun berbentuk kandang koloni
beratap sebagian pada bagian depan kandang (terutama tempat lungan) dan model
kandang kelompok ini identik disebut juga dengan kandang umbaran terbatas.
Lantai kandang model ini menggunakan lantai semen atau beton berpori (model
wavin) terutama pada bagian lantai yang tidak beratap. Pada bagian belakang
kandang dilengkapi selokan pembuangan terutama untuk menjaga kebersihan lantai
kandang pada musim hujan. Alas lantai pada model kandang ini tidak menggunakan
alas dasar litter, namun bahan alas litter hanya disebarkan pada lantai
(terutama lantai yang beratap) yang becek.
b.
Kandang
induk bunting dan melahirkan dikembangkan dalam bentuk kandang individu dengan
dua baris dengan penempatan sapi pada posisi ekor berlawanan (tail to tail)
sehingga tempat pakan terletak masing-masing sisi kandang.
Pada tahun
selanjutnya juga akan dikembangkan kandang khusus untuk sapi bunting lebih dari
6 bulan sampai melahirkan dan kandang anak (pedet) sampai umur 1 tahun serta
berbagai sarana pendukung lainnya termasuk kandang isolasi dan karantina,
kandang jepit (penimbangan, pemeriksaan kebuntingan, deteksi penyakit dan
inseminasi buatan) serta sarana bongkar muat ternak (modifikasi lokasi bongkar
muat eks-pabrik CRF).
Aspek Produksi
Sesuai
dengan tujuan usaha yaitu penggemukan (fattening) dan pembibitan (breeding)
maka produk utama usaha adalah ternak sapi siap potong (hasil penggemukan) dan
ternak betina muda calon induk atau bibit sebar (umur > 1 tahun). Volume
produksi yang dihasilkan setiap tahun dalam usaha integrasi sawit sapi
tergantung pada proses pengadaan dan perkembangan populasi ternak dipelihara.
Produk utama usaha integrasi adalah penggemukan dan pembibitan tetapi sumber
penerimaan usaha tidak hanya ternak sapi bakalan siap jual (hasil penggemukan)
dan bibit sebar (betina muda > 1 tahun) tetapi juga bersumber dari:
a.
Penjualan
ternak sapi afkiran yaitu induk dan pejantan yang dianggap atau hasil
pengamatan sudah tidak produktif dan untuk memenuhi kebutuhan dilakukan replacement
dengan ternak sapi jantan dan betina muda hasil seleksi (layak bibit).
b.
Penjualan
betina majir yaitu ternak betina muda yang awalnya disiapkan sebagai calon
induk tetapi dalam perjalanannya ternyata tidak memiliki kemampuan reproduksi
(tidak mengalami kebuntingan dan melahirkan anak).
Pada tahun awal
kegiatan (4 tahun pertama), sumber utama penjualan adalah ternak sapi siap
potong hasil penggemukan yang disupplay dari luar usaha peternakan (eksternal).
Peningkatan pada tahun ke-4 karena sumber bakalan disamping dari luar usaha
sendiri juga berasal dari ternak bakalan hasil pembibitan sendiri dan setelah
tahun-tahun tersebut pengadaan bakalan mulai dikurangi dan beralih pada bakalan
yang berasal dari usaha pembibitan sendiri (mandiri). Seluruh pedet setelah
dikurangi hasil seleksi jantan muda sebagai calon ternak sapi pejantan akan
digunakan untuk penggemukan. Jantan muda hasil seleksi akan digunakan untuk
replacement (pengganti) pejantan akhir dan menyesuaikan dengan perkembangan
populasi induk sehingga imbangan ideal 1 : 10 dapat dipertahankan. Komponen
jenis output yang dijual setiap tahun tetap sapi siap potong hasil penggemukan
dan diikuti dengan sapi betina bibit sebar. Penjualan pejantan dan induk hanya
dilakukan setelah masa afkir dan digantikan dengan ternak hasil pembibitan sendiri.
Pemeliharaan
pejantan tetap menjadi sesuatu yang penting meskipun nantinya dalam perjalanan
usaha integrasi untuk perkembangan biakan tidak mengandalkan kawin alami tetapi
lebih pada Inseminasi Buatan (IB). Setelah tahun ke 8 proyek atau tahun 2020
pertumbuhan volume penjualan ternak sapi masing-masing kelompok produk ternak
akan menjadi stabil dengan skala usaha antara 12.000 – 13.000 ekor dengan
volume penjualan mencapai sekitar 3.500 ekor/tahun yang terdiri dari 5 jenis
produk. Hal ini ini tentu mendapat dukungan berdasarkan Renstra Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2010-2014 menyebutkan program
pemerintah ini harus mendapatkan dukungan dari instansi terkait. Pada
kementerian BUMN dalam renstra tersebut diharapkan dapat berkontribusi dalam
program swasembada daging sapi melalui:
1.
Pemanfaatan
dana CSR dari BUMN untuk bidang peternakan
2.
Pengembangan
sistem integrasi kelapa sawit dan sapi potong (SISKA)
3.
Mendorong
pengembangan sub sistem pembibitan oleh swasta/BUMN
4.
Dukungan
penggunaan pupuk organik asal ternak.
Hal inilah yang menjadikan program
integrasi sawit dan sapi harus dilaksanakan di Perkebunan Nusantara yang ada
komoditas kelapa sawitnya (PPKS, 2012).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Pelepah sawit dapat digunakan sebagai
sumber serat dalam pakan komplit sapi potong dengan menambahkan sumber protein
maupun mineral. Model integrasi sapi dan kelapa sawit secara intensif
menghasilkan pupuk kandang yang sesuai diaplikasikan untuk tanaman kelapa
sawit.
5.2 Saran
Praktikan
harus lebih aktif untuk mengorek informasi yang akurat dari pengelola
dilapangan sehingga menambah wawasan terkait system integrasi sapi-sawit.
DAFTAR PUSTAKA
Erlangga E. 2012. Asyiknya panen rupiah
dari beternak sapi potong. Pustaka Agro Mandiri. Pamulang-Tangerang Selatan.
Fikar S, Ruhyadi D. 2010. Beternak dan
bisnis sapi potong. PT Agromedia Pustaka. Jakarta.
Majalah Tanam. 2013. ISS jadi proyek
nasional. Majalah Tanam edisi III.Tahun II Januari- Februari 2013.
Novra ardi.2016. Study Kelayakan Usaha Integrasi Sawit-Sapi PTP.
Nusantara VI.Jambi
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).
2012. Integrasi sawit, sapi dan energi. Edisi I. 2012.